Senin, 26 Desember 2011

Kasus Freeport 2011



Siapa Salah???

Jika kita menengok kebelakang, beberapa waktu yang lalu cukup heboh kasus Freeport di Papua. PT Freeport sendiri merupakan salah satu perusahaan yang ada di Indonesia yang menyerap tenaga kerja Indonesia paling banyak. Namun walaupun demikian bukan berarti Freeport mampu membantu menyejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat Papua. Pemerintah dalam “merestui” PT Freeport kurang berpikir jangka panjang. Kita lihat dampak dari Freepoort dimana dampak lingkungan begitu besar. Sungai-sungai yang terkena buangan limbah Freeport bisa dipastikan tumbuhan-tumbuhan yang hidup dipinggir-pingir sungai akan layu dan mati. Sungai pun akan menjadi berwarna gelap dan hitam pekat. Tentu hal tersebut akan membunuh makhluk hidup yang hidup disungai. Bayangkan kalau sungai tersebut dimanfaatkan oleh manusia? Tentu akan berakibat fatal. Padahal tidak sedikit penduduk di Papua yang hidupnya memanfaatkan air sungai. Belum lagi penambangan emas yang dilakukan di gunung Grasberg dan Erstberg yang memiliki sejarah, mitos, dan kisah yang bermakna tinggi bagi masyarakat pedalaman Papua.

Terkait dengan pemogokan yang dilakukan pekerja Freeport yang berbuntut kekerasan di Papua memang bukan 100% salah para pemogok. Mereka hannya menuntut upah mereka dinaikkan. Seharusnya  tuntutan tersebut tidak sulit diwujudkan oleh PT Freeport. Kalau melihat keuntungan yang didapat PT Freeport, seharusnya Freeport mampu melakukan “balas budi” pada masyarakat Papua yang alamnya sudah mereka eksploitasi. Toh di kabupaten Mimika, tempat berdirinya PT Freeport, jumlah penduduk asli Papua hanya sekitar 35% dan sisanya adalah pendatang. Apa susahnya menaikkan standar upah bagi sebagian dari 35% penduduk asli yang bekerja di Freeport?

Freeport sendiri dulunya hanya perusahaan gurem di dunia, berkat penambangan emas di Papua, Freeport menjelma menjadi salah satu perusahaan terbesar dan disegani didunia. Tapi apa yang dilakukan PT Freeport menanggapi pemogokan pekerjanya? Banyak dugaan PT Freeport menyewa, menyuap, membayar (atau apapun istilahnya) pada polisi untuk mengamankan perusahaan. Dan parahnya lagi pihak kepolisian juga diduga melakukan kekerasan (militerisme) dan pelanggaran HAM. Anehnya, Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang saat itu sedang tidak aktif malah dikait-kaitkan dan dijadikan kambing hitam oleh berbagai pihak, termasuk media. Padahal permasalahan sebenarnya hanya masalah pekerja yang menuntut kenaikan upah. Lalu kenapa harus mencari kambing hitam? Permasalahan OPM kembali memberontak itu bukan terkait Freeport secara langsung, walaupun memang mungkin OPM mengambil moment tersebut.

Jika kita lihat kekerasaan yang diduga dilakukan pihak kepolisian terhadap rakyat Papua dan lebih memilih melindungi PT Freeport, berarti secara tidak langsung kepolisian mengangkangi apa yang diamanatkan UUD 1945. Seharusnya tugas polisi adalah melindungi dan mengayomi masyarakat, bukan melakukan tindakan militerisme. Sering kita merenung dan bertanya-tanya, penting manakah antara melindungi perusahaan asing dan melakukan tindakan militerisme pada masyarakat atau melindungi dan mengayomi masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya seperti apa yang diamanatkann Undang-undang? Kalau sudah begini, siapa yang salah?



*Referensi berdasarkan perenungan pribadi, Antaranews.com, menyimak talk show di metro tv, obrolan santai dengan Taufik Nur H, buku “SBY antek Yahudi AS???” karya Eggi Sudjana.

3 komentar:

  1. sungguh ironis kasus freeport yang tak kunjung usai. masalah yang tadinya hanya pada freeport dan para pekerjanya kini sudah masuk ke ranah politik. jangan sampai kasus ini menjadi pintu masuk bagi rakyat papua yang ingin melepaaskan diri dari indonesia. kontrak karya dengan PT Freport perlu ditinjau ulang.

    BalasHapus
  2. thx komennya.padahal cuma skedar posting krn sya membahasnya juga krg dalam

    BalasHapus
  3. Ekstraksi sumber daya alam dalam jumlah besar terdiri atas pertambangan, penebangaan kayu dan rancangan peraaturan daerah khusus mengenai pengaturan tanah adat dalam bentuk partisipasi yang adil berpotensi menarik bagi penanam modal. Pembangunan tidak seharusnya hanya untuk meraih pertumbuhan ekonomi dalam rangka mencari keuntungan ekonomi , tetapi juga harus tetap menjaga martabat kolektif yang dipercayai oleh masyarakat setempat

    BalasHapus