Rabu, 11 Januari 2012

Pasar Tradisional vs Pasar Modern


Pasar Tradisional opo Pasar Modern????

Dewasa ini pertumbuhan ekonomi di Indronesia sangat jauh berkembang. Banyaknya penanam modal dari luar yang menanamkan modal di Indonesia adalah salah satu penyebabnya. Munculnya berbagai tempat belanja dengan konsep swalayan pun makin marak. Memang salah satu hal yang menarik penanam modal asing adalah di sektor pasar-pasar modern. Pasar modern sendiri memiliki ciri pembeli melayani sendiri (swalayan) dan tidak ada tawar menawar layaknya pasar tradisional. Yang bisa dikategorikan pasar modern itu sendiri antara lain minimarket, supermarket, hypermarket, departmentstore, dan semacamnya.

Perkembangan pasar modern yang cukup signifikan sebenarnya sangat mengancam ekonomi masyarakat, khususnya yang bergelut dan berkecimpung di dalam pasar tradisional. Lebih banyaknya pilihan dan lebih menariknya pilihan model barang yang dijual di pasar modern (khususnya produk pakaian) dan harga yangg tidak perlu tawar menawar membuat pasar medern lebih memiliki daya tarik. Tempat yang bersih juga menjadi salah satu keunggulan pasar modern. Namun, bagaimanapun juga jika pemerintah hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan perijinan pendirian pasar modern juga kurang baik karena hakekatnya untuk memajukan suatu daerah/bangsa bukan hanya dengan mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi harus mengejar pemerataan eonomi dengan basis ekonomi kerakyatan. Tentu kaitannya dengan hal tersebut perlu adanya perlindungan terhadap pelaku ekonomi pasar tradisional dengan cara pembatasan dan pengaturan perijinan yang ketat terhadap pembangunan pasar modern. Hal ini dirasa akan lebih efektif untuk membangun dan memberdayakan rakyat mengingat mayoritas penduduk ddi Indonesia yang berekonomi menengah kebawah.

Penerapan ekonomi berbasis pada rakyat dengan pasar tradisional sebagai motornya setidaknya telah dilakukan oleh beberapa wilayah di Indonesia. Sebut saja kota Solo dan kabupaten Bantul. Kota Solo dengan walikotanya, Joko Widodo, yang meruakan sosok figur yang sederhana dan pro rakyat sudah barang tentu berusaha mewujudkan ekonomi kerakyatan tersebut. Bahkan kota Solo sendiri pernah dijadikan tempat study banding pemerintahan kota di sebuah kota di Thailand karena mampu menata kota dari pedagang kaki lima sekaligus mampu menciptakan ekonomi kerakyatan dengan pembatasan pembangunan mall-mall di Solo. Hal ini juga pernah beberapa kali di bahas dalam berbagai stasiun televisi swasta. Hal yang sama juga coba diwujudkan di Bantul, salah satu kabupaten yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Peraturan yang mengatur pembangunan dan perijinan pasar modern di Bantul telah ada yaitu Perbup No 57 tahun 2009 dan Perbup No 12 tahun 2010. Jarak antara pasar modern dengan pasar tradisional, luas bangunan pasar modern, jam operasional dan lain sebagainya telah diatur dalam kedua Perbup tersebut. Bahkan mall pun tidak diperbolehkan dibangun di kabupaten Bantul tersebut. Tentu hal ini juga untuk melindungi pasar tradisional dan para pelaku bisnis yang berkecimpung dalam pasar tradisional. Suatu hal yang perlu dicontoh untuk menciptakan daerah dan bangsa yang pro rakyat dan pro pemerataan ekonomi. Pertanyaannya sekarang adalah kota mana yang akan menyusul meniru kedua kota tersebut dalam membangun ekonomi kerakyatan? Pertanyaan yang tentunya akan sulit dijawab oleh para pejabat-pejabat yang maniak uang.




*referensi : perenungan pribadi, talkshow metro tv, perbup bantul

Kamis, 29 Desember 2011

Puisi


Sumpahmu
Karya : N. Farhan

Sumpah serapah kau tujukan padaku
Tak peduli hati pedih terkoyak
Kata-kata tajam meluncur tak beraturan
Menumbuhkan bibit kebencian
Kau terdekat
Kau yang melaknat
Selalu benar yang kau rasa
Kau sumbat telinga
Pupuskan sayup suara orang

Rangkaian kata tajam
Terbekas dalam tak karuan

Transportasi Publik


Tindak Kejahatan Dalam Angkot

Transportasi publik di Indonesia akhir-akhir ini mendapat perhatian khusus oleh berbagai pihak. Transportasi umum yang punya image murah, kini memiliki image baru yaitu rawan tindak kejahatan, khususnya kejahatan seksual yang menimpa penumpang wanita. Berbagai macam pelecehan seksual terjadi dalam transportasi rakyat ini. Teranyar kasus pemerkosaan bergilir didalam angkot. Pelakunya tak lain dan tak bukan adalah supir dan kernet angkot itu sendiri. Tentu hal tersebut menjadi sangat traumatis, bukan hanya bagi korban tetapi juga bagi para pelanggan dan pengguna jasa angkot tersebut. Jika supir dan kernetnya saja malah “mengakali” penumpangnya, lalu siapa yang bisa memberikan jaminan keamanan? Fasilitas dan kenyamanan yang pas-pasan ditambah dengan keamanan yang jauh dari kata layak seolah menjadi gambaran umum potret transportasi publik di Indonesia. Hendaknya peran pemerintah harus lebih nyata dalam mengantisipasi dan menangani kejahatan yang sering terjadi pada penumpang ankutan kota.

Harus ada standar kelayakan kendaraan dan juga standar kelayakan bagi pengemudi dan kernet angkot. Tes kesehatan mental dan fisik hendaknya dilakukan secara rutin dan berkala pada para pengemudi dan kernet angkot. Razia dokumen kelengkapan mengemudi pun harus dilakukan sesering mungkin, salah satu aspek yang harus menjadi perhatian adalah kaca angkot yang harus bisa dilihat dari luar. Namun kewaspadaan dan kehati-hatian para penumpang harus tetap ada. Dengan begitu kemungkinan tindak kejahatan dalam transportasi publik bisa dtekan.




*Referensi berdasarkan perenungan pribadi, berita-berita di media massa (khususnya metro tv)

Global Warming


Undang-Undang Perusak Bumi

Global warming seolah menjadi momok bagi bumi. Pemanasan global seolah menjadi tanda kalau usia bumi sudah senja. Cuaca yang tidak menentu, banjir yang terus-terusan terjadi, hujan yang disertai angin, badai, dan berbagai bencana lain yang menandakan akibat adanya global warming. Global warming menjadi ancaman serius yang harus segera ditindak lanjuti. Berbagai organisasi dunia menyerukan gerakan anti global warming. Bermacam slogan seperti go green, back to nature, dan bermacam-macam slogan lainnya mereka serukan. Di Indonesia pun tak kalah gencarnya. Organisasi yang berlandaskan lingkungan menyerukan pentingnya pencegahan terhadap efek global warming. Pemerintah pun cukup gencar menyerukan hal tersebut pada iklan-iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Namun dibalik gencarnya kampanya dan slogan-slogan tersebut, ada satu keanehan yang dibuat pembuat kebijakan.

Pemerintah disatu sisi ikut menyerukan dan mengkampanyekan gerakan anti global warming, namun disisi lain seolah mendukungg adanya global warming. Kenapa??? Mari kita tengok Undang-undang No 22 tahun 2009 tantang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (LLAJ) pada pasal 107 ayat 2 yang menyatakan pengemudi sepeda motor wajib menyalakan lampu utama di siang hari. Aturan tersebut sangat aneh menurut saya. Siang hari yang begitu panas dan terang seolah masih kurang panas dan terang bagi para pembuat kebijakan. Alasan untuk mengurangi angka kecelakaan di jalann raya dijadikan tameng. Padahal untuk mata normal di siang hari, kendaraan lain sudah terlihat jelas. Toh apakah aturan tersebut benar-benar mampu mengurangi kecelakaan? Aturan tersebut terlalu mengadopsi dari negara-negara maju di Eropa yang memang disana memiliki empat musim, lalu bagaimana dengan di Indonesia? Menurut saya penyalaan lampu kendaraan di siang hari malah akan menambah angka kecelakaan mengingat efek silau yang diakibatkan oleh lampu kendaraan lain, Belum lagi efek pemanasan global karena kebijakan tersebut. Jelas-jelas kendaraan di Indonesia luar biasa banyaknya, dengan adanya penambahan nyala lampu, tentu hal tersebut akan mempercepat pemanasan global. Namun harus kita maklumi, mungkin para pembuat kebijaka sudah tidak bisa melihat dengan jelas di siang hari sehingga butuh banyak penerangan, walaupun mungkin seharusnya hatinya lah yang lebih butuh penerangan sehingga bisa lebih memikirkan rakyat, negara, dan tentunya bumi kita yang makin tersiksa akibat kebijakan tersebut.



*Referensi dari perenungan pribadi, atas bantuan materi-materi dari Tri Winarni (Nani), dari berbagai sumber di internet

Selasa, 27 Desember 2011

Puisi


Sepi Hati Padam
Karya : N. Farhan

Sunyi sepi tak bertepi
Laksana ombak tak bergumul
Kicauan burung bisu
Teriakan kelinci-kelinci hutan
Semarak tenang tak bertuan

Hitam terpampang semesta
Lembut rintik air kehidupan
Angin sepoi melambai
Gemericik harmoni alam
Tak menyulutkan api padam

Senin, 26 Desember 2011

Kasus Freeport 2011



Siapa Salah???

Jika kita menengok kebelakang, beberapa waktu yang lalu cukup heboh kasus Freeport di Papua. PT Freeport sendiri merupakan salah satu perusahaan yang ada di Indonesia yang menyerap tenaga kerja Indonesia paling banyak. Namun walaupun demikian bukan berarti Freeport mampu membantu menyejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat Papua. Pemerintah dalam “merestui” PT Freeport kurang berpikir jangka panjang. Kita lihat dampak dari Freepoort dimana dampak lingkungan begitu besar. Sungai-sungai yang terkena buangan limbah Freeport bisa dipastikan tumbuhan-tumbuhan yang hidup dipinggir-pingir sungai akan layu dan mati. Sungai pun akan menjadi berwarna gelap dan hitam pekat. Tentu hal tersebut akan membunuh makhluk hidup yang hidup disungai. Bayangkan kalau sungai tersebut dimanfaatkan oleh manusia? Tentu akan berakibat fatal. Padahal tidak sedikit penduduk di Papua yang hidupnya memanfaatkan air sungai. Belum lagi penambangan emas yang dilakukan di gunung Grasberg dan Erstberg yang memiliki sejarah, mitos, dan kisah yang bermakna tinggi bagi masyarakat pedalaman Papua.

Terkait dengan pemogokan yang dilakukan pekerja Freeport yang berbuntut kekerasan di Papua memang bukan 100% salah para pemogok. Mereka hannya menuntut upah mereka dinaikkan. Seharusnya  tuntutan tersebut tidak sulit diwujudkan oleh PT Freeport. Kalau melihat keuntungan yang didapat PT Freeport, seharusnya Freeport mampu melakukan “balas budi” pada masyarakat Papua yang alamnya sudah mereka eksploitasi. Toh di kabupaten Mimika, tempat berdirinya PT Freeport, jumlah penduduk asli Papua hanya sekitar 35% dan sisanya adalah pendatang. Apa susahnya menaikkan standar upah bagi sebagian dari 35% penduduk asli yang bekerja di Freeport?

Freeport sendiri dulunya hanya perusahaan gurem di dunia, berkat penambangan emas di Papua, Freeport menjelma menjadi salah satu perusahaan terbesar dan disegani didunia. Tapi apa yang dilakukan PT Freeport menanggapi pemogokan pekerjanya? Banyak dugaan PT Freeport menyewa, menyuap, membayar (atau apapun istilahnya) pada polisi untuk mengamankan perusahaan. Dan parahnya lagi pihak kepolisian juga diduga melakukan kekerasan (militerisme) dan pelanggaran HAM. Anehnya, Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang saat itu sedang tidak aktif malah dikait-kaitkan dan dijadikan kambing hitam oleh berbagai pihak, termasuk media. Padahal permasalahan sebenarnya hanya masalah pekerja yang menuntut kenaikan upah. Lalu kenapa harus mencari kambing hitam? Permasalahan OPM kembali memberontak itu bukan terkait Freeport secara langsung, walaupun memang mungkin OPM mengambil moment tersebut.

Jika kita lihat kekerasaan yang diduga dilakukan pihak kepolisian terhadap rakyat Papua dan lebih memilih melindungi PT Freeport, berarti secara tidak langsung kepolisian mengangkangi apa yang diamanatkan UUD 1945. Seharusnya tugas polisi adalah melindungi dan mengayomi masyarakat, bukan melakukan tindakan militerisme. Sering kita merenung dan bertanya-tanya, penting manakah antara melindungi perusahaan asing dan melakukan tindakan militerisme pada masyarakat atau melindungi dan mengayomi masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya seperti apa yang diamanatkann Undang-undang? Kalau sudah begini, siapa yang salah?



*Referensi berdasarkan perenungan pribadi, Antaranews.com, menyimak talk show di metro tv, obrolan santai dengan Taufik Nur H, buku “SBY antek Yahudi AS???” karya Eggi Sudjana.

Senin, 19 Desember 2011

Puisi

Tikus Birokrasi

Karya : N.Farhan

Kaki-kaki kecil berlari sembunyi
Puluhan dataran dijelajahi
Milyaran hijau kertas hambur
Sisa derita bius rakyat
Tertangkap pikun
Terpasung sakit
Sandiwara tikus birokrasi